Quiet Quitting: Fenomena Gen Z di Dunia Kerja, Produktif atau Sekadar “Ikut Arus”?
- Pinter PrintCo
- 3 Sep
- 2 menit membaca

Pernah dengar istilah quiet quitting? Fenomena ini belakangan jadi bahan obrolan hangat di dunia kerja, khususnya di kalangan Gen Z. Tapi jangan salah, quiet quitting bukan berarti benar-benar resign atau mengundurkan diri, melainkan sikap bekerja “secukupnya saja” sesuai dengan deskripsi pekerjaan tanpa mau terbawa beban berlebih.
Banyak karyawan, khususnya generasi muda, mulai memilih untuk bekerja by the book: datang sesuai jam, menyelesaikan tugas pokok, lalu pulang tepat waktu. Tidak lagi ada ambisi lembur tanpa henti atau “kerja mati-matian” demi citra produktif.
Mengapa Quiet Quitting Terjadi?
Work-Life Balance Jadi Prioritas
Generasi sekarang lebih sadar pentingnya kesehatan mental. Buat mereka, bekerja bukan segalanya. Tetapi masih ada kehidupan pribadi, keluarga, dan hobi yang harus diperhatikan.
Budaya Hustle Sudah Mulai Ditolak
Jika dulu “kerja keras tanpa batas” dianggap keren, kini justru dipandang sebagai toxic. Gen Z lebih memilih smart work daripada sekadar hard work.
Kurang Apresiasi dari Perusahaan
Banyak karyawan merasa sudah memberikan lebih, tapi tidak mendapat penghargaan sepadan bahkan beban kerja yang diemban terkadang tidak sesuai dengan feedback yang diberikan perusahaan. Alhasil, motivasi menurun dan muncullah pilihan untuk “kerja sesuai gaji saja”.
Dampaknya bagi Dunia Kerja
Bagi Karyawan → Lebih tenang, terhindar dari burnout, tapi bisa terjebak dalam zona nyaman.
Bagi Perusahaan → Produktivitas bisa menurun jika terlalu banyak karyawan yang melakukan quiet quitting, terutama bila tidak ada komunikasi yang sehat antara atasan dan bawahan.
Apakah Quiet Quitting Buruk?
Tidak selalu. Bagi sebagian orang, ini adalah cara sehat untuk menjaga keseimbangan hidup. Namun, jika dilakukan dengan sikap acuh, bisa saja karier jadi stagnan.
Kuncinya adalah komunikasi. Karyawan perlu berani menyampaikan ekspektasi, sementara perusahaan perlu menciptakan budaya kerja yang sehat dan suportif.
Penutup
Quiet quitting bukan sekadar tren, melainkan sinyal bahwa generasi muda sedang mencari cara baru untuk “hidup seimbang” tanpa kehilangan arah karier. Jadi, apakah quiet quitting tanda malas atau justru bentuk kesadaran baru? Semua kembali pada cara kita menyikapinya.
Article by Diandra
Komentar